Sunday, October 20, 2013

Suara nurani dan jeruji dosa

'kemanapun kau ajak hati kau pergi, aku percaya,
ia tetap selalu ingin pulang ke, hati yang baik'



Tak ada yang lebih jernih dari suara hati, ketika ia menegur tanpa suara.
Teguran yang halus, begitu bening, begitu mendalam.
Tak ada yang lebih jujur dari nurani, saat ia menyedarkan kita tanpa kata-kata.
Nasihatnya begitu hening, dan kita, tak kuasa menyangkal.
Tak ada yang lebih tajam dari mata hati, ketika ia menghentak kita dari beragam kesalahan dan alpa.
Begitu tipis, begitu menghiris.

Maka,
Berbahagialah orang yang seluruh waktunya dipenuhi kemampuan untuk jujur pada nurani. Dan berbahagialah orang yang tulus mendengar suara hati.


"Mintalah fatwa kepada hatimu. Kebaikan itu adalah apa-apa yang tenteram jiwa padanya, dan tenteram pula dalam hati. Dan dosa itu adalah apa-apa yang syak dalam jiwa, dan ragu-ragu dalam hati, meski orang-orang memberi fatwa kepadamu dan mereka membenarkanmu." (HR Muslim)


Hati
bicara tanpa kata, menjawab tanpa suara,
dan sering menyengat tanpa melihat. Tapi ia terasa.

Sebab, dari sanalah banyak tindakan dan perilaku kita mengambil kiblatnya. dari sana amal-amal dan segala proses kehidupan kita menapakkan pijakannya berupa niat dan tekad. Maka, sang Rasul menggambarkannya sebagai raja. Jika hati itu berdenyut baik, maka baiklah seluruh raganya. Jika hati itu rosak, maka rosak pula semuanya.

Setiap kita punya hati, dan didalamnya nurani kita terus bergetar menyuarakan pesan Ilahi. Permasalahannya kemudian adalah bisa tidaknya pesan nurani itu bergerak keluar menembus dinding hati lalu terdengar bergerincing.

Seringkali, ia hanya berbisik. Tak jelas. Atau bahkan bungkam. Kerna karat-karat dosa menjerujinya. Kemudian, setiap suara hati hanya mampu menggetarkan jeruji-jeruji itu. Hingga seringkali kita mengira suatu bisikan sebagai suara hati, sedang itu adalah geretak jeruji dosa dan palang-palang nafsu. Nurani yang berbisik, menyakiti hawa nafsu yang mengungkungnya. Lalu hawa nafsu itu berteriak nyaring. Dan dialah yang kita dengar.

Setip kemaksiatan yang kita lakukan menjadi noktah dosa yang menghitamkan hati. Awalnya nurani kita akan selalu mengirimkan tanda bahawa ia disakiti. Tapi ketika hawa diperturutkan, dan maksiat terus dilakukan, diulang dan diulang, noktah-noktah dosa telah menjadi jeruji, membelenggu nurani hingga suaranya makin lirih. Padahal satu noktah dosa selalu mengundang teman-temannya. Hingga satu ketika, hati mati rasa.


"Hukuman terberat atas suatu dosa", kata Ibnul Jauzi dalam Shaidul Khathir, "adalah perasaan tidak berdosa" Ya. Kerana merasa tak berdosa adalah kain kafan yang membungkus hati ketika ia mati. 



Mengotori hati dengan dosa, sama ertinya dengan meredupkan cahayanya dan memadamkan nyalanya. Bermaksiat adalah kerja untuk mengeruhkan kejernihan hati dan menumpulkan ketajamannya.



"Sesungguhnya dosa-dosa itu", kata Rasulullah SAW, "Apabila terus menerus menimpa hati, maka ia akan menutupinya. Dan bila hati telah ditutup, akan datang kunci dan cap dari Allah SWT. Bila sudah demikian, tak ada lagi baginya jalan; tidak ada jalan keimanan untuk masuk ke dalamnya, tidak juga jalan kekafiran untuk keluar darinya."


Kadang, kita memerlukan saat-saat sepi untuk bertanya pada hati. Dalam tafakkur di malam yang sunyi misalnya, mudah-mudahan bisikan nurani itu terdengar lebih jelas. Atau satu waktu kita cuba mengambil jeda dari rutinitas, mengisinya dengan aktiviti ruhani. Mudah-mudahan saat itu kita bis mengenali suara hati dari antara bising-bising nafsu.



"Jika seseorang kerap merenungi kebesaran Allah di saat menyendiri," kata 'Ali Zainal 'Abidin ibn Husain, "Maka Allah akan mengenalkan padanya segala silap dan dosanya, hingga ia sibuk dengan dirinya."



Lebih jauh lagi, kita harus mengakrabkan hati dengan wahyu. Kerana mereka bersaudara. Kerana mereka membawa pesan cinta yang sama. Untuk kita. Maka alangkah syahdunya hari-hari yang ditingkahi tilawah suci. Lalu kita mentadabburinya. Lalu kita kaji tafsirnya. Maka hati akan tersenyum bahagia menjadikan al-Quran kawan bergandengtangan. Membimbing kita. Maka nurani akan berbisik lebih mesra. Hingga kita bahagia mendengar bisikannya yang menyemangati kita berbuat taqwa.



Di jalan cinta pejuang, selalulah sucikan hati, lalu bertanyalah padanya. Di jalan cinta para pejuang, berkawanlah dengan nurani meski kau tersunyi, meski kau sendiri.




"yang paling aku takutkan ialah keakraban hatidengan kemungkaran dan dosajika suatu kedurhakaan berulangkali dikerjakanmaka jiwa menjadi akrab dengannyahingga ia tak lagi peka, mati rasa..."-Hasan az-Zayyat rahimahullah-






"Wahai hati, jangan dikau mati sebelum aku mati"











Bab bertanya pada hati,
Jalan cinta para pejuang,
muka surat 214-228,
Salim a.fillah